Setiap pagi, Yanto berlari kecil menembus udara dingin Tokyo dengan segelas kopi hangat di tangan kanannya. Rambutnya yang hitam sebahu tertiup angin saat ia menuruni tangga stasiun Shinjuku, bersiap menghadapi rutinitas yang melelahkan — kereta pagi yang padat. Seperti biasa, suara pengumuman stasiun bercampur dengan derap langkah ratusan orang yang bergerak cepat. Ketika pintu kereta terbuka, Yanto ikut terdorong masuk bersama lautan manusia, hampir tanpa ruang untuk bernapas. Di sela-sela kesempitan itu, ia menatap pantulan dirinya di jendela kereta dan tersenyum kecil — tanda keteguhan hati yang tak pernah pudar.
Bagi Yanto , perjalanan yang penuh sesak itu bukan sekadar rutinitas, tapi simbol perjuangan menuju impian. Setiap pemberhentian, setiap dorongan, adalah bagian dari kisahnya meniti karier di kota yang tak pernah tidur. Di dalam kereta yang berguncang itu, ia memutar musik lembut dari earphone-nya, menenangkan diri di tengah hiruk-pikuk yang nyaris mekanis. Meskipun hari-harinya dimulai dengan desakan dan keringat, Yanto selalu melihatnya sebagai langkah kecil menuju masa depan yang ia cita-citakan — sebuah kehidupan yang lebih baik di tengah gemerlap lampu kota Tokyo.






