JepangBasah – Ayaka Makimura tinggal bersama putrinya dan sang menantu setelah suaminya wafat beberapa tahun lalu. Hidup bertiga dalam satu atap membuat Ayaka sering berinteraksi dengan menantunya—mulai dari urusan rumah tangga hingga percakapan ringan di sore hari. Semakin lama, kedekatan mereka terasa berbeda. Menantunya sering melontarkan pujian kecil yang membuat Ayaka tersenyum, dan ia pun mulai merasa dihargai dengan cara yang tak pernah ia rasakan sejak lama. Ia mencoba mengabaikan perasaan itu, menganggapnya sebagai rasa syukur atas menantu yang baik, tapi hati kecilnya tahu: ini lebih dari sekadar kekaguman biasa.
Hari demi hari, interaksi mereka semakin intens—bukan secara fisik, melainkan secara emosional. Mereka mulai menyimpan percakapan yang hanya dimengerti berdua, saling memahami dalam diam, dan tanpa sadar membangun dunia kecil yang terpisah dari putrinya. Ayaka dilanda dilema besar: ia tahu perasaan itu tak seharusnya tumbuh, namun juga sulit mengingkari bahwa hatinya sudah terlanjur terbuka. Di balik senyum dan rutinitas keluarga, ia hidup dalam pergulatan batin yang terus membayangi. Kini, Ayaka harus memilih: mengikuti kata hati, atau menjaga keutuhan keluarga yang rapuh di ambang retak.
