jepangbasah – Sakura Tsukishima Sudah tiga tahun sejak suamiku, Hiroshi, meninggal dunia. Sejak saat itu, aku tinggal berdua bersama Masami, anakku. Kami bukan keluarga yang sempurna, tapi kehilangan yang sama membuat kami saling bergantung satu sama lain. Ekonomi kami sulit, dan Masami, yang baru lulus SMA saat itu, memilih bekerja di perusahaan susu sebagai pengantar. Setiap pagi ia berangkat sebelum matahari terbit dan kembali larut malam dengan tubuh lelah, tapi selalu menyempatkan diri untuk menanyakan keadaanku, seolah ingin mengisi peran ayahnya yang hilang. Sikap dewasanya tumbuh cepat, kadang lebih dari yang seharusnya untuk anak seusianya.
Namun belakangan, perhatian Masami terasa berbeda—lebih personal, lebih dalam, seperti ada sesuatu yang tak mampu ia ucapkan. Aku mencoba mengabaikannya, berpikir mungkin ini hanya dampak dari trauma kehilangan yang belum selesai. Tapi di balik kehangatan yang ia tunjukkan, aku tahu kami mulai melangkah ke wilayah emosi yang rumit. Sebagai orang tua, aku sadar bahwa kasih sayang harus punya batas yang jelas, dan justru karena aku peduli padanya, aku harus kuat. Masami bukan suamiku, dan bukan tempat bagiku untuk mencari pelipur lara. Maka aku mulai bicara dengannya, perlahan, agar kami berdua bisa kembali memahami bahwa cinta dalam keluarga tak selalu harus didefinisikan dengan cara yang rumit—kadang cukup dengan saling menjaga, tanpa melangkah terlalu jauh.
